Seorang nelayan memahami bahwa dalam perjalanan hidup selalu ada pengalaman yang baik maupun tidak baik, sebagaimana ia pernah terjebak dalam badai besar di tengah laut. Angin yang kencang, ombak yang meninggi, dan langit yang seolah akan runtuh menggambarkan betapa situasi bisa tampak mengancam.
Dalam kondisi seperti itu, manusia sering dikuasai ketakutan: ada yang panik, ada yang berteriak, ada yang berdoa dengan suara gemetar, bahkan ada yang merasa seolah hidupnya akan berakhir. Namun ada pula sikap yang berbeda, sikap tenang yang lahir dari kebijaksanaan. Seperti nasihat seorang nelayan tua yang mengatakan bahwa kepanikan tidak akan menghentikan badai; hanya ketenangan yang memampukan seseorang melihat arah dan mengambil keputusan dengan tepat.
Ketenangan bukan berarti mengabaikan bahaya, tetapi menyadari bahwa kendali diri lebih berdayaguna daripada membiarkan diri dikuasai kecemasan. Dengan tenang, seseorang dapat tetap memegang “kemudi” hidupnya dan mencari jalan keluar meski badai sedang berlangsung. Inilah yang Paulus gambarkan dalam 2 Timotius 3:1-9. Sebuah badai zaman, kerusakan karakter, ajaran palsu, dan kepalsuan rohani yang meluas.
Timotius sedang memimpin jemaat di tengah badai seperti itu. Dan seperti Timotius, kita pun hidup di era yang sering membuat kita terheran-heran: mengapa manusia bisa begitu keras, begitu egois, begitu hilang arah? Tetapi Paulus mengajar kita satu sikap: tetaplah tenang di tengah badai. Bukan karena badai itu kecil, tetapi karena Tuhan lebih besar.
Surat 2 Timotius adalah surat terakhir Paulus, ditulis dari penjara Roma menjelang eksekusinya. Ini bukan sekadar surat, tetapi wasiat rohani. Pasal 3 menggambarkan hari-hari terakhir bukan sebagai bencana alam, melainkan sebagai badai moral dan rohani: manusia menjadi cinta diri, cinta uang, sombong, keras kepala, tidak tahu berterima kasih, dan hidup tanpa kasih.
Paulus menyinggung tentang orang yang berrupa ibadah tapi memungkiri kuasanya. Artinya, ada banyak orang religius tetapi tanpa perubahan hidup. Ia juga menyebut Yanes dan Yambres, para penyihir Mesir yang menentang Musa. Mereka tampak kuat, tetapi sesungguhnya tidak dapat mengalahkan kebenaran Allah.
Dengan latar itu, Paulus ingin Timotius tidak terkejut menghadapi badai, tetapi tetap berdiri teguh.
1. Badai Moral Datang untuk Membuka Mata Kita (ayat 1-5)
Paulus berkata, “Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar.” Kalimat ini seperti persiapan sebelum badai. Tuhan tidak ingin kita kaget atau panik. Dia ingin kita sadar. Paulus lalu memberi daftar karakter manusia yang rusak. Ketika manusia lebih mencintai diri daripada sesama. Ketika lebih menyukai uang daripada kebenaran.
Ketika kesombongan lebih besar daripada kerendahan hati. Ketika agamanya menjadi rutinitas tanpa perubahan hidup. Itulah tanda badai moral.
Banyak orang panik melihat perubahan dunia sekarang. Tetapi bagi Paulus, panik bukan respon yang benar. Ia tidak berkata “Takutlah,” tetapi “Ketahuilah.” Ketahuilah, berarti sadari, pahami, dan tetaplah berdiri. Karena ketenangan adalah tanda bahwa kita memiliki Allah yang lebih besar dari keadaan.
2. Badai Ajaran Palsu Menuntut Kita Berpegang pada Firman (ayat 6-7)
Paulus kemudian menjelaskan badai kedua: ajaran palsu. Ajaran palsu masuk pelan-pelan, tidak teriak, tidak kasar, tetapi menyusup lewat celah hati manusia yang rapuh. Di zaman sekarang, ajaran palsu mudah sekali masuk: Melalui media sosial, motivasi rohani yang tidak alkitabiah, tafsiran yang dipelintir, atau pemimpin yang lebih mencari pengikut daripada kebenaran.
Paulus berkata ada orang yang “belajar terus, tetapi tidak pernah mengenal kebenaran.” Banyak orang penuh pengetahuan, tetapi kosong pertobatan. Banyak yang sibuk mencari pengalaman, tetapi tidak ingin tunduk pada Firman. Karena itu, ketenangan kita tidak lahir dari kemampuan kita menghadapi badai, tetapi dari akar yang kokoh pada Firman Tuhan. Ketika kita berpegang pada Firman, suara dunia tidak mudah menggoyahkan kita.
3. Tuhan Berdaulat atas Badai,Dan Kepalsuan Tidak Akan Menang (ayat 8-9)
Paulus mengingatkan tentang Yanes dan Yambres. Mereka menentang Musa dengan ilusi kuasa yang besar. Tetapi mereka akhirnya gagal. Kepalsuan mungkin terlihat kuat, tetapi tidak berdiri lama di hadapan Tuhan. Paulus ingin Timotius tahu hal ini: badai tidak selamanya, Kepalsuan tidak akan menang, Keheningan Tuhan bukan berarti kelemahan-Nya.
Tuhan tetap memegang kendali, bahkan ketika dunia tampak kacau. Inilah alasan mengapa kita dapat tetap tenang di tengah badai. Bukan karena kita kuat, tetapi karena Allah adalah pengemudi perahu kehidupan kita.
Aplikasi dalam kehidupan nyata kita saat sekarang antara lain:
- Tetap tenang berarti berpaut pada Tuhan, bukan keadaan Ketenangan kita lahir ketika hati memusatkan diri pada Tuhan. Badai boleh besar, tetapi Allah lebih besar.
- Tetap tenang berarti hidup berbeda dari arus dunia. Di saat orang mengasihi diri lebih dari sesama, kita dipanggil mengasihi. Di saat dunia tidak tahu berterima kasih, kita dipanggil bersyukur. Di saat banyak yang memakai topeng rohani, kita dipanggil hidup benar.
- Tetap tenang berarti percaya bahwa badai ada ujungnya. Setiap badai punya waktu selesai. Setiap ajaran palsu pada waktunya akan jatuh. Setiap kejahatan akan dibungkam oleh kebenaran Tuhan.
Paulus menulis 2 Timotius 3 bukan untuk menakut-nakuti kita, tetapi untuk memperlengkapi kita. Jika badai datang, ingatlah nelayan tua itu: panik tidak menghentikan badai, tetapi ketenangan membuat kita tetap tahu arah pulang.
Demikian juga dalam kehidupan rohani: ketika kita tenang, kita bisa mendengar suara Tuhan, kita bisa membedakan arah yang benar, dan kita bisa tetap berjalan dalam kebenaran meskipun dunia bergoncang. Kiranya Tuhan menolong kita untuk tetap tenang, tetap percaya, dan tetap setia di tengah badai zaman ini. Amin.[*]
Penulis: Vic. Yulen Tanggu Hana, S.Th